KOMISI Pemilihan Umum DKI Jakarta telah mengesahkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat provinsi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua. Hasilnya, Jakarta akan memiliki gubernur baru pada Oktober mendatang.
Tak sedikit analis politik kemudian menilai dan menguliti kekalahan petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, dari penantang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dari beragam sisi.
Satu hal menarik namun mendadak begitu penting namun langsung mencuat adalah politik anggaran yang meruap pasca kunjungan perdana Anies Baswedan ke Balaikota. Kunjungan yang harusnya diakhiri oleh gubernur baru itu dengan senyum lebar, justru berakhir dengan raut masam.
Seperti biasa, Gubernur Ahok yang masih akan bekerja hingga Oktober 2017 mengingatkan perihal pentingnya peran Anies Baswedan menjadi jembatan komunikasi kepada partai-partai pendukung Anies yang selama ini rajin menentang Ahok dalam penyusunan APBD DKI.
Tak banyak disadari publik, politik anggaran merupakan proses saling mempengaruhi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan mempengaruhi kebijakan alokasi anggaran karena terbatasnya sumber dana publik yang tersedia.
Politik anggaran juga merupakan penegasan kekuasaan atau kekuatan politik di antara berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran. Dalam kasus politik anggaran DKI Jakarta, maka ada proses komunikasi antara eksekutif (Gubernur) dengan legislatif (DPRD).
Saya mencatat sejak Ahok menjabat gubernur pada 19 November 2014, tak bosan-bosannya pertarungan terjadi antara eksekutif dan legislatif. Ahok berkeras agar penyusunan APBD dilakukan secara transparan, sebaliknya mayoritas anggota DPRD ada di sisi lainnya.
Sengitnya hubungan Ahok dengan DPRD DKI terjadi dalam penyusunan RAPBD DKI tahun 2015. Dalam rapat paripurna, semua anggota DPRD DKI yang berjumlah 106 orang dari sembilan fraksi memberikan tanda tangan persetujuan penggunaan hak angket.
Sebanyak 33 anggota Dewan juga telah tercatat duduk dalam panitia angket saat itu. Hak angket itu digulirkan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran aturan perundang-undangan oleh Gubernur Ahok dalam tahapan penetapan APBD DKI 2015.
Pertarungan tak berujung tersebut pada akhirnya memaksa Mendagri Tjahjo Kumolo meneken Surat Keputusan (SK) Mendagri tentang evaluasi RAPBD 2015 yang membuat Gubernur memiliki hak mengesahkan anggaran daerahnya.
Dinamika hampir serupa pun terjadi setahun kemudian, bahkan muncul sinyalemen penyusunan anggaran APBD 2016 dimonopoli eksekutif dalam artian adalah Pemrov DKI. Untungnya, kejadian pada 2015 tidak terulang pada pembahasan APBD DKI 2016 dan berhasil disahkan dengan menggunakan peraturan daerah.
Salah satu keberhasilan Ahok dalam dua tahun tersebut adalah penerapan e-budgeting yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas perencanaan, efisiensi realisasi dan transparansi anggaran Pemprov DKI Jakarta.
Penelitian yang dilakukan Universitas Bakrie, Lita Khaerunisa Nugraheni (2016) mendapati bahwa penyusunan e-budgeting dalam aktivitas anggaran Pemprov DKI Jakarta telah membantu mengefisiensikan realisasi APBD yakni membuat proses aktivitas anggaran dari mulai perencanaan, penganggaran, hingga pengendalian anggaran menjadi lebih cepat dan dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan Pemprov Jakarta dalam mencapai realisasi anggaran.
Seluruh data dari tahap usulan sampai berakhirnya tahun anggaran telah terintegrasi dan tersimpan dengan baik sehingga apabila diperlukan pencarian asal-usul anggaran dan pelaksanaanya dapat dengan cepat didapatkan melalui sistem e-budgeting
Terjebak isu menengah
Sayangnya, politik anggaran bukan sesuatu yang mudah dikomunikasikan kecuali di tingkat kelas menengah. Hal ini disadari Ahok dengan menggenjot program infrastruktur yang terintegrasi dengan program sosial yang dapat dinikmati masyarakat di kelas bawah.
Dari mana uang program-program itu? Dana tanggung jawab sosial dari swasta (CSR) di luar APBD (non bujeter).
Harapan Ahok jelas, senada dengan James Michael Curley, Wali Kota Boston legendaris di era 1913-1951 yang dikenal dengan kebijakannya mendistribusikan kesejahteraan kepada masyarakat kelas bawah dan membangun Boston sebagai kota yang maju dan manusiawi. Sementara Ahok melokalisasi ide tersebut sebagai program yang menyasar otak, perut dan dompet warga Jakarta.
Pola Curley yang dijuluki Rascal King karena kegarangannya melawan bandit-bandit Boston itu berhasil dan dikenang sebagai Curley Effect, sebaliknya Ahok gagal. Kenapa? Curley diuntungkan dengan posisinya yang lebih dominan secara rasial dan agama. Hal penting yang tidak dimiliki Ahok.
Pada sisi lain, jika kita kembali pada kekerasan sikap Ahok dalam politik anggaran, maka sangat jelas siapa pihak yang selama ini terganggu termasuk tentunya partai penguasa DPRD DKI yang pada tahap awal pencalonan cagub pun bersengketa dengan Ahok. Hanya campur tangan Ibu Ketua Umum partai tersebut yang memaksa "kapak perang" itu dikubur sementara.
Shapiro (2003) menyebut politik redistributif dalam suatu demokrasi yang melibatkan pembagian uang dan barang-barang lain oleh mayoritas yang berkuasa, tidak dapat disangkal. Dengan kondisi seperti ini, sejumlah koalisi akan selalu terbentuk untuk memperkaya diri mereka sendiri atas penderitaan yang lainnya.
Meski demikian, Shapiro mengingatkan bahwa koalisi tersebut akan tidak stabil dalam artian bahwa sejumlah anggotanya mungkin selalu tergoda untuk membentuk koalisi baru dengan mereka yang masih tersingkir dan akan merugikan penerima manfaat yang ada saat ini.
Hal ini tentu disadari oleh seorang Anies Baswedan yang merupakan ahli ilmu politik. Adalah menjadi tantangannya ketika menjadi gubernur untuk mampu konsisten sebagai pemimpin yang amanah, bersih, sekaligus membahagiakan seluruh pihak.
Menariknya, imbas drama selama pilkada sejauh ini masih kental terasa di antara kedua pendukung. Reaksi emosional yang wajar namun akan kontraproduktif ketika gubernur dan wakil gubernur baru mulai bertugas.
Pesan Gubernur Ahok dan Wakilnya, Djarot, pada 19 April malam sudah sangat jelas yaitu bekerja sekeras mungkin memenuhi target hingga masa kerjanya berakhir sekaligus memastikan agar gubernur baru, Anies Baswedan dan wakil-nya, Sandiaga Uno, dapat bekerja dengan lancar.
Jadi, sudah saatnya warga DKI melupakan Ahok dan mulai menerima Anies Baswedan mewujudkan janji membahagiakan warga Jakarta dengan segala program plus-plusnya. Menerima pemenang pilkada adalah bagian dari tradisi demokrasi yang baik.
Jika janji-janji sudah terbukti gagal diwujudkan, barulah "hukum" Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berikut partai-partai pendukungnya melalui jalur demokrasi yang beretika, misal pada Pilkada 2021 atau justru Pilpres 2019, bukan dengan cara-cara yang melemahkan demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar